Antara Cinta, Nasib dan Takdir: Refleksi Film ‘Comrades: Almost A Love Story’ (1996)
Suatu ketika seseorang pernah mengatakan hal yang menurut saya ‘corny’ or should I say it’s the most cheesy pick up line ever! Dia berkata: “Kamu itu orangnya ceria banget ya, senyum terus. Enak gitu dilihatnya.” Orang lain yang mendengar hal yang sama mungkin akan mengernyitkan dahi, lalu akan berkata dalam hati “WTF are u trying to do?”. Suasana akan menjadi hening juga berangsur berubaj menjadi absurd. Entah kenapa terkadang manusia salah menangkap sinyal, sehingga otak salah interpretasi dan berujung salah tuk mengerti. Apalagi kalau hati juga ikut bicara, logikapun ikut menjadi runyam. Saya berani mengatakan kalau saya adalah pribadi yang berbeda dan optimis. I simply take what the man said as a damn compliment. Saya balas pujian tadi dengan senyum termanis yang bisa saya produksi saat itu sambil berkata: “Masak sih mas? Anyway.. makasih ya.”
Kejadian tadi membawa pikiran saya melanglang buana ke film ‘Comrades: Almost a Love Story’ (甜蜜蜜). Bagaimana nasib (sesuatu yang masih terjadi, masih akan terjadi, masih berjalan, dan masih menyimpan banyak kemungkinan) dan takdir (sesuatu yang sudah terjadi, juga sesuatu yang ditetapkan Tuhan kepada setiap makhluk-Nya) pada akhirnya mempertemukan kembali dan mempersatukan dua pribadi yang kerap kali terpisahkan oleh situasi dan kondisi? Comrades merupakan salah satu film Hong Kong generasi Second Wave besutan Peter Chan yang rilis pada tahun 1996, menceritakan tentang dua orang warga negara Cina Daratan yang bermigrasi ke Hong Kong untuk mengadu nasib. Li Qiao yang oportunis memanfaatkan Li Xiao-Jun yang naif untuk membantu Qiao mengerjakan pekerjaan serabutannya, dari mulai mengirim bunga, berjualan kaset Teresa Teng di malam tahun baru hingga jual beli saham. Konflik mulai muncul ketika Qiao dan Xiao memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama pada malam tahun baru.
There’s always something (interesting) to talk about love. How people can have a very different opinion on how love or other things but similar to love occurs. Love, passion, lust, compassion, blah blah blah.. serupa tapi tak sama.
Saya mendefinisikan cinta sebagai percikan antara dua persona, chemistry yang kecil namun kuat, yang akan membuat kita merinding. Meskipun itu bisa memelintir pikiran dan perasaan kita (seperti bagaimana Qiao bersikeras untuk menjaga keadaan kawan ketika dia benar-benar mulai memiliki perasaan terhadap Xiao, atau bagaimana Lotus pada akhirnya pergi bersama dengan Wu Long dalam film ‘The Reincarnation of Golden Lotus’ (1989), atau bagaimana Wan menyimpan obsesinya untuk Li-zhen pada film ‘2046’ (2004), dan perselingkuhan Wah dengan sepupunya, Ngor dalam ‘As Tears Go By’ (1988). Entah bagaimanapun itu, cinta dapat membuatmu ketagihan dan tidak bisa menolak untuk terus datang kembali sampai tiba saat mencari cinta yang lain. Ini adalah kekuatan harapan dan salah satu dari banyak hal lain yang membuat manusia untuk terus maju. Saya harus mengakui di mana ada cinta, di situ ada komitmen. Bagaimana kita memutuskan untuk membuat cinta itu berhasil dan bagaimana kita berupaya untuk mempertahankan cinta itu.. itu merupakan sebuah komitmen.
Berkali-kali Qiao dipisahkan dari Xiao. Berkali-kali juga saya berharap film ini menemukan titik akhir. Comrades membuat perasaan saya bercampur aduk, bahagia, sedih, bahagia lagi, sedih lagi. Alurnya persis drama Korea dan drama Indonesia dengan ratusan episode, semua serba kebetulan dan pihak yang saling mencinta tidak mau mengatakan perasaan yang sesungguhnya kepada orang yang mereka cintai. As someone who feels optimistic and believes that dreams could be reality, I can really relate with Qiao. There’s nothing wrong with that, as long as, obviously, you follow such wishful thinking or dream with endless hard work.
Jika kita kembali ke cerita pribadi saya di awal tadi, mungkin saya ditakdirkan untuk bertemu pria tersebut untuk alasan yang baik, untuk menemukan teman, untuk menemukan cinta, untuk memenuhi harapan saya atau mungkin sebaliknya. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Satu yang pasti: apapun yang terjadi, hidup saya pasti terus berjalan (tentu saja sambil mendengarkan lagu indah milik Teresa Teng yang berjudul ‘Tián mì mì’).
Naoki Ferrio
Jakarta Cinema Club