Mengenal Pride Month lewat Media Film

Seperti halnya terang muncul karena ada gelap dan kebaikan eksis karena ada keburukan, konsep “pride” pun ada karena didahului oleh “shame”. Menyadari ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya, dan kemudian merasa malu karena menyadari bahwa perbedaan tersebut adalah sesuatu yang tidak diterima oleh masyarakat umum serta berpotensi membahayakan eksistensinya, adalah realitas yang lazim dihadapi oleh para individu LGBT sejak usia dini. Atau bisa jadi kesadaran ini baru muncul di kemudian hari, sebagai manifestasi dari rangkaian momentum yang tertumpuk dan direpresi selama bertahun-tahun. Pride Month merupakan salah satu momen yang penting untuk mengingatkan sentimen tersebut dan salah satu cara untuk mengenal dan mengapresiasinya adalah lewat media film.

konsep “pride” pun ada karena didahului oleh “shame”

Meskipun Pride Month, yang selalu berlangsung selama bulan Juni setiap tahun, tidak dirayakan secara resmi di Indonesia, semangat yang mendasari perayaan ini sangat patut menjadi inspirasi bagi kelompok LGBT di Indonesia. Terlebih dengan korelasi terhadap pergerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat – tempat lahirnya Pride Month – saat ini; patut diingat bahwa Pride Month tercetus sebagai peringatan akan pemberontakan serupa oleh komunitas LGBT di Greenwich Village, New York City pada akhir Juni 1969 terhadap polisi setempat yang hobi menyatroni dan merazia Stonewall Inn, bar tempat mereka biasa berkumpul di penghujung tahun 1960-an. 

Kerusuhan Stonewall, yang terjadi pada 28 Juni 1969, sering dianggap sebagai titik awal dari gerakan perjuangan hak LGBT di Amerika Serikat (foto: Historycollection.co)

Pemberontakan yang diprakarsai oleh para drag queen dan transpuan kulit hitam, salah satunya Marsha P. Johnson, yang sayangnya tidak digambarkan secara akurat dalam film Stonewall (2015, oleh Roland Emmerich). Meskipun begitu, nilai-nilai seperti solidaritas, interseksionalitas dan tentunya kebanggaan akan identitas diri yang (dianggap) liyan akan selalu relevan, lebih dari 50 tahun sejak pemberontakan Stonewall.

Mengenal Pride Month lewat Media Film
Marsha P. Johnson, salah satu figur drag queen dan aktivis LGBT yang sangat penting dalam peristiwa Stonewall Riots (foto: akun Marsha P. Johnson Institute)

Harus diakui memilih 10 judul film untuk tulisan ini bukanlah hal yang mudah. Menyadari identitas diri saya sebagai seorang gay sejak usia dini membuat saya tumbuh dewasa haus dengan konten dan narasi homoseksual dalam produk-produk budaya yang saya gandrungi: musik, film, TV, buku, majalah. Selain memang menggandrungi berbagai film (panjang, pendek atau dokumenter) bertema LGBT, keterlibatan saya di Q! Film Festival pada pertengahan dekade lalu pun membuat saya semakin terpapar oleh sinema LGBT, sehingga menentukan 10 judul film saja menjadi sebuah tanggung jawab yang perlu dilakukan dengan serius dan berhati-hati. 

Dalam benak saya, 10 judul film yang saya pilih harus mewakili keempat alfabet LGBT; walaupun saya seorang gay, tidak adil rasanya kalau semua film yang ditampilkan hanya bercerita seputar kehidupan pria homoseksual. (Apa boleh buat? Saya memang Libra sejati.) Alhasil, saya sampai pada ide untuk menampilkan hanya film-film panjang yang dirilis di dekade 2010-an dengan alasan relevansi dan akses. 

Meskipun begitu, ada beberapa judul favorit yang terpaksa saya korbankan, seperti In the Family (2011, oleh Patrick Wang) atau Love is Strange (2014, oleh Ira Sachs) juga judul-judul yang saya pikir sudah cukup populer di kalangan pecinta film, seperti Laurence Anyways (2012, oleh Xavier Dolan, yang bisa dibilang adalah sutradara paling favorit saya yang muncul di dekade 2010-an) atau Moonlight (2016, oleh Barry Jenkins), yang kita semua tahu menjadi film bertema LGBT pertama yang meraih piala Film Terbaik di Academy Awards. Popularitas Netflix yang meroket di dekade yang sama pun menghasilkan banyak konten LGBT, seperti Alex Strangelove (2018, oleh Craig Johnson), selain tentunya ada juga Love, Simon (2018, oleh Greg Berlanti), film rom-com Hollywood pertama yang membahas cinta muda dari sudut pandang remaja gay. 

Mengenal Pride Month lewat Film Moonlight
Moonlight (2016), film bertema LGBT pertama yang meraih piala Film Terbaik di Academy Awards (foto: BFI)

Kecuali untuk satu judul film Indonesia, daftar berikut juga tidak menampilkan film produksi negara Asia lain atau film Barat dengan narasi yang berkaitan dengan orang dan budaya Asia, seperti Eat with Me (2014, oleh David Au, yang bisa dibilang mendahului premis Aruna & Lidahnya ditambah dengan sudut pandang homoseksual) atau Lilting (2014, oleh Hong Khaou, yang sangat mengharu biru). Meskipun tidak saya bahas lebih lanjut di tulisan ini, saya tetap merekomendasikan agar para pembaca juga menonton karya-karya tersebut sebagai referensi lebih lanjut.

Bagi saya, 10 judul film yang dibahas di bawah ini merupakan manifestasi riil dari konsep “pride”. “Pride” sejatinya merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu, momentum dan katalisnya sendiri, apalagi ketika lingkungan atau sistem yang berlaku lebih melanggengkan “shame” dalam diri, atas nama mempertahankan status quo. Inilah mungkin alasan utama mengapa kebanyakan film bertema LGBT kerap berkutat pada narasi coming of age alias akil baligh; meminjam kutipan aktris favorit saya, Tilda Swinton: 

I think that very often heterosexual people miss out on the transitions that gay people have to go through in order to come out to themselves [and] to their families when they’re quite young. There’s a feeling of development and sometimes heterosexual people have never had to go through that self-examination and just knowing themselves, and that sense of coming out, coming to your own defense, and being your own best advocate. And then maybe their relationship choices are potentially less examined. They could be lazier or less thoroughly thought-through.

Tanpa perlu bertutur lebih panjang lagi, berikut 10 film rekomendasi saya untuk Pride Month:

1 | 120 battements par minute (2017, Prancis, oleh Robin Campillo)

Mengenal Pride Month lewat Film BPM
Film120 battements par minute karya Robin Campillo (foto: Les Films de Pierre)

Berangkat dari sebuah artikel yang membandingkan film ini dengan Call Me by Your Name (keduanya dirilis hanya beberapa bulan antara satu sama lain), saya jadi beranalogi bahwa CMBYN adalah fantasi sementara 120 BPM adalah realitas dan bahwa bisa jadi karakter Sean Dalmazo di film ini adalah reinkarnasi Elio Pearlman versi beberapa tahun sejak CMBYN berakhir, yang kemudian tinggal di Paris, hidup secara terbuka sebagai gay dan aktif dalam pergerakan melawan HIV/AIDS.

Karakter-karakter di film ini pun digambarkan sebagai para aktivis yang hidup secara jujur dan terbuka, dengan dinamika kelompok yang cair dan egaliter

Faktanya, memang 120 BPM diangkat berdasarkan kisah nyata kelompok ACT UP (AIDS Coalition to Unleash Power) cabang Paris di awal dekade 1990-an serta naik-turun mereka dalam usaha meningkatkan kesadaran publik akan bahaya HIV/AIDS sekaligus mendorong pemerintah agar cepat bertindak, dengan cara advokasi yang cenderung militan.

Karakter-karakter di film ini pun digambarkan sebagai para aktivis yang hidup secara jujur dan terbuka, dengan dinamika kelompok yang cair dan egaliter, bahkan saat (atau justru karena?) mereka tahu akan dijemput ajal. Dibandingkan dengan CMBYN pun, saya mengapresiasi bahwa karakter-karakter perempuan di 120 BPM tidak hanya terkesan seperti tempelan belaka yang perannya hanya sekedar menjadi katalis bagi karakter-karakter utama prianya untuk jujur dengan diri sendiri akan perasaan dan identitas mereka. Meskipun lebih banyak menampilkan narasi pria homoseksual, saya tetap melihat 120 BPM sebagai sinema feminis. Satu hal lain yang tak kalah pentingnya: tidak seperti CMBYN, dua pemeran utama 120 BPM, Nahuel Pérez Biscayart dan Arnaud Valois, pun memang gay di kehidupan nyata. Film ini sangat cocok untuk memulai selebrasi Pride Month.


2 | 52 Tuesdays (2014, Australia, oleh Sophie Hyde)

Mengenal Pride Month lewat Film 52 Tuesdays
Film 52 Tuesdays karya Sophie Hyde (foto: Closer Productions)

Tidak banyak film panjang yang membahas tentang transgender pria

Dibandingkan film-film lain di daftar ini yang didominasi oleh kehidupan perkotaan dan anak-anak muda, 52 Tuesdays mengedepankan cerita tentang kehidupan keluarga khas pinggiran kota, proses transisi seorang perempuan biologis menjadi laki-laki… dan anak-anak muda. Tidak banyak film panjang yang membahas tentang transgender pria dan meskipun tidak sempurna, 52 Tuesdays sukses bertutur tentang dinamika keluarga yang kompleks, proses akil baligh seorang remaja perempuan bernama Billie dan ibunya, Jane, yang juga sedang dalam proses transisi menjadi James, ditingkahi latar belakang pinggiran kota Adelaide.

Bagi saya, film ini juga merupakan sebuah potret kultur Anglofon di Australia yang sepi penduduk dan terkesan dingin namun tetap memiliki pesonanya tersendiri, meskipun jauh dari seksinya hiruk-pikuk daerah urban macam Sydney atau Melbourne.


3 | Appropriate Behavior (2014, Amerika Serikat, oleh Desiree Akhavan)

Mengenal Pride Month lewat Film Appropriate Behavior
Film Appropriate Behavior karya Desiree Akhavan (foto: Parkville Pictures)

tidak mudah menerima fakta bahwa seorang anak perempuan kebanggaan adalah seorang biseksual

Subgenre film paling favorit saya adalah mumblecore, yang sayangnya lebih banyak didominasi oleh sudut pandang orang kulit putih dan heteroseksual. Ketika pertama kali menonton Appropriate Behavior (yang appropriate juga terjadi di apartemen kawan-kawan saya yang pasangan lesbian), bukan hanya saya merasa terwakili namun juga terinspirasi oleh karakter Shirin, si protagonis yang mengingatkan saya akan karakter animasi Daria Morgendorffer, namun bergulat dengan penerimaan oleh keluarganya, yang merupakan imigran kaya asal Iran dan tentu saja tidak mudah menerima fakta bahwa anak perempuan kebanggaan mereka adalah seorang biseksual.

Di samping berjibaku dengan isu keluarga, Shirin pun baru saja putus dengan pacarnya, Maxine, dan akibatnya kehilangan tempat tinggal. Bagaimana Shirin menavigasi kehidupannya di Brooklyn pasca berbagai kehilangan, dengan kemungkinan juga kehilangan dukungan keluarganya? Film yang humoris namun sarkas ini sungguh penuh pesona dan patut jadi bahan refleksi bagi siapa pun yang pernah dan tahu rasanya kehilangan.

Oh ya, empat tahun kemudian Desiree Akhavan pun menyutradarai The Miseducation of Cameron Post, film Pride Month lain yang saya rekomendasikan di luar daftar ini. Film ini berkisah tentang remaja lesbian yang dipaksa mengikuti terapi konversi. Patut ditonton juga!


4 | Holding the Man (2015, Australia, oleh Neil Armfield)

Film Holding the Man karya Neil Armfield (foto: Screen Australia)

Awam kerap memaknai relasi homoseksual hanya sebagai sebuah fase yang dilewati para pelakunya sebelum kemudian “insyaf” atau “tobat” dan kembali ke jalan heteronormativitas.

Film ini cocok sekali bagi kaum budak cinta alias bucin seperti saya. Terlebih bahwa film penting dalam daftar Pride Month ini berdasarkan kisah nyata pasangan endgame Timothy Conigrave dan John Caleo yang bersama-sama mengarungi bahtera cinta selama 15 tahun hingga ajal menjemput mereka berdua. 

Awam kerap memaknai relasi homoseksual hanya sebagai sebuah fase yang dilewati para pelakunya sebelum kemudian “insyaf” atau “tobat” dan kembali ke jalan heteronormativitas. Begitu pun pandangan yang berlaku dalam keluarga dan lingkungan Tim dan John yang Katolik taat. Namun, mereka berdua mampu melewati berbagai tantangan dan rintangan, termasuk ketika keduanya positif terkena HIV. Meskipun berpotensi menguras (atau setidaknya meneteskan) air mata, film ini tidak menjual derita atau kesedihan, namun kegigihan, keberanian dan kesetiaan dalam menjalani hidup yang jujur, terbuka dan penuh cinta.


5 | La Belle Saison (2015, Prancis, oleh Catherine Corsini)

Film La Belle Saison karya Catherine Corsini (foto: France 3 Cinéma)

Blue is the Warmest Colour mungkin menjadi judul film dari era 2010-an pertama yang terbersit di benak banyak orang saat berbicara tentang kisah cinta lesbian. Bagi saya, La Belle Saison – judul Inggris: Summertime – adalah kisah yang lebih otentik dan realistis. 

Bayangkan skenario ini: seorang lesbian anak imigran yang tinggal di desa dan diharapkan meneruskan usaha peternakan keluarga merasa jenuh dengan kehidupan pedesaan dan menemukan kebebasan, komunitas dan cinta di kota, namun tetap merasa bertanggung jawab terhadap keluarganya dan terdorong untuk kembali ke rumah demi menjadi anak baik-baik yang patuh terhadap orang tua. 

Di sisi lain, ada juga cerita tentang perempuan urban yang menemukan seksualitasnya setelah seumur hidup terkungkung dalam paradigma heteroseksual dan harus mau berkompromi demi perempuan yang ia cintai. Saya yakin dua sudut pandang dan kompleksitas yang muncul daripadanya sangat relevan bagi banyak individu LGBT di Indonesia dan karenanya film ini pantas sekali untuk disimak.


6 | Pariah (2011, Amerika Serikat, oleh Dee Rees)

Film Pariah karya Dee Rees (foto: Focus Features)

The most disrespected woman in America is the black woman. The most unprotected person in America is the black woman. The most neglected person in America, is the black woman.

Begitu ucap Malcolm X dalam pidatonya yang berjudul Who Taught You to Hate Yourself? pada tahun 1962. 50 tahun kemudian, Pariah seakan bertanya balik, “Bagaimana jika perempuan kulit hitam yang dimaksud masih remaja dan beridentitas lesbian?”. Kultur yang guyub sekaligus religius jelas semakin mempersulit jalan hidup Alike, seorang siswi SMA di Brooklyn yang pendiam, sensitif dan gemar menulis puisi, untuk hidup secara terbuka sebagai lesbian butch. Hingga pada akhirnya dia sampai pada sebuah keputusan: pergi, namun bukan kabur. Bagaimana Alike bisa sampai pada keputusan tersebut? Pariah masuk dalam jajaran film Pride Month yang menampilkan pergulatan internal dan eksternal Alike dengan apik sekaligus menggugah.


7. Parts of the Heart (2012, Indonesia, oleh Paul Agusta)

Film Parts of the Heart karya Paul Agusta (foto: MUBI)

Bisa jadi ini adalah film bertema gay yang paling sering saya tonton sepanjang masa; dalam kurun waktu 7 tahun sejak dirilis, secara tidak sadar nonton film ini telah menjadi agenda tahunan saya. Sampai-sampai terakhir kali saya menonton film ini dan bertemu langsung dengan Paul Agusta, yang menulis dan menyutradarai Parts of the Heart, dia berseloroh, “Kamu sudah berapa kali nonton film ini?”. 

Bercerita tentang evolusi kehidupan Peter, seorang gay di Jakarta, mulai dari masih bocah hingga telah menikah (dengan laki-laki tentunya) dalam serangkaian segmen, bagi saya belum ada film bertema serupa lain yang benar-benar mengupas kehidupan seorang pria gay dengan akurat, gamblang dan komprehensif. Segmen “The Game Kiss” merupakan salah satu cerita coming of age bertema gay paling favorit saya sepanjang masa dan kapan lagi melihat Joko Anwar dan Khiva Iskak berperan sebagai pasangan domestik yang memelihara kucing? 

Kenangan menonton film ini untuk pertama kalinya juga tak terlupakan. Saya rela hujan-hujanan sepulang kerja menuju Institut Français Indonesia yang waktu itu masih berlokasi di Salemba demi menonton film ini di Q! Film Festival 2012, jauh sebelum saya bergabung di dalamnya. Beruntung masih dapat tiket nonton, saya kebetulan duduk di samping seorang pasangan (gay, tentunya) yang terlihat emosional dan saling menggenggam tangan satu sama lain di segmen Joko Anwar dan Khiva Iskak. Makin penasaran seperti apa, kan? Makanya harus nonton film ini!


8 | Tangerine (2015, Amerika Serikat, oleh Sean Baker)

Foto Tangerine karya Sean Baker (foto: Duplass Brothers Productions)

Film wajib tonton untuk Pride Month yang mengedepankan wacana transpuan memang cukup banyak. Sayangnya, kebanyakan menampilkan karakter-karakter yang tragis atau memiliki jalan hidup tragis, seperti Lili Elbe di The Danish Girl karya Tom Hooper (yang kebetulan dirilis di tahun yang sama seperti Tangerine) atau Rayon di Dallas Buyers Club (2013, oleh Jean-Marc Vallée); bukan itu saja, mereka biasanya diperankan oleh aktor cisgender heteroseksual, baik laki-laki atau perempuan, seperti salah satu favorit saya: Bree di Transamerica (2005, oleh Duncan Tucker) yang diperankan oleh Felicity Huffman.

Tangerine menawarkan sesuatu yang berbeda dan menyegarkan: dua protagonis utamanya, Sin-Dee dan Alexandra, adalah transpuan kulit hitam (diperankan oleh Kitana Kiki Rodriguez dan Mya Taylor, juga transpuan di kehidupan nyata) yang berprofesi sebagai PSK dan kemudian berpetualang untuk menemukan mucikari sekaligus kekasih Sin-Dee, Chester, yang rupanya berselingkuh dengan perempuan cisgender. Yang terjadi selanjutnya adalah Thelma and Louise tanpa bunuh diri massal di akhir film atau The Adventures of Priscilla, Queen of the Desert tanpa gurun. Yang lebih keren lagi, film ini seluruhnya direkam menggunakan iPhone 5S!


9 | The Comedian (2012, Inggris, oleh Tom Shkolnik)

Film The Comedian karya Tom Shkolnik (foto: BFI)

Apabila Appropriate Behavior menawarkan sudut pandang perempuan biseksual di Amerika Serikat, The Comedian menampilkan gegap gempita kota London dari sudut pandang Ed, seorang pria biseksual yang sedang mengalami krisis hidup di usia awal 30-an. Siapa yang tidak bisa merasa terhubung dengan protagonis yang tidak bahagia dengan pekerjaannya, tidak yakin bisa mencapai impiannya (di film ini tentu impian Ed adalah menjadi komika) dan di tengah itu semua, menemukan dirinya jatuh cinta dengan laki-laki dan perempuan di saat bersamaan? 

Sekilas, karakter Ed mengingatkan saya pada Russell dari film Weekend karya Andrew Haigh (salah satu film paling favorit saya sepanjang masa!) yang dirilis hanya setahun sebelum The Comedian: keduanya tipikal pria kulit putih kelas pekerja di Inggris yang terjebak dalam kehidupan yang hampa dan monoton, merasa masa depannya tidak jelas dan sebenarnya masih belum sepenuhnya menerima identitas dirinya. Bagaimana perjalanan Ed sang komika kurang terkenal agar menerima diri dan memperbaiki jalan hidupnya? Jawabannya bisa ditemukan di The Comedian


10 | Pride (2014, Inggris, oleh Matthew Warchus)

Film Pride karya Matthew Warchus (foto: BBC Films)

Saya pikir hanya pas mengakhiri daftar rekomendasi film untuk Pride Month dengan sebuah film berjudul Pride. Selain Parts of the Heart, ini adalah film bertema gay dan lesbian lainnya yang paling sering saya tonton dan setiap kali menonton tidak pernah gagal membuat hati terasa membuncah hingga meneteskan air mata saat berbagai montage diiringi “There Is Power In A Union”-nya Billy Bragg muncul. Saya bahkan pernah menulis refleksi tentang film ini. 

Berangkat dari kisah nyata koalisi sebuah sekelompok aktivis gay dan lesbian di London yang tergabung dalam Lesbians and Gays Support the Miners (LGSM) dengan kelompok penambang di Wales yang sedang mogok kerja sebagai protes terhadap pemerintahan tiran Margaret Thatcher pada tahun 1984, film ini juga bertaburan para aktor dan aktris veteran sinema Britania Raya: mulai dari Imelda Staunton, Bill Nighy, Dominic West dan Andrew Scott sebagai pasangan pemilik toko buku Gay’s the Word hingga kemunculan sebentar Russell Tovey sebagai mantan kekasih protagonis utama film ini, Mark Ashton, yang diperankan dengan sangat gemilang oleh Ben Schnetzer, yang sebenarnya orang Amerika.

Satu hal kecil tentang yang menggelitik bagi saya adalah seperti halnya 120 battements par minute yang mengawali daftar ini, Pride juga menampilan musik dari Bronski Beat, trio synth-pop asal Skotlandia yang semua anggotanya gay dan hit terbesar mereka, “Smalltown Boy” (1984), bercerita tentang seorang remaja gay yang pergi meninggalkan keluarganya demi kehidupan yang lebih baik di kota.

penting untuk menumbuhkan kebanggaan diri di tengah gempuran sosial dan budaya yang memaksa kita layu dalam rasa malu dan hina.

Editor Teen Vogue Lucy Diavolo, yang kebetulan juga seorang transpuan, pernah berkata, “Being queer is about joy, but that joy is often tempered by a great deal of pain; it is through that bitterness that the sweetness is that much sweeter.” Kesepuluh film Pride Month yang ada di daftar ini menampilkan berbagai kisah individu dan kelompok LGBT yang harus mengarungi berbagai kegetiran hidup sebelum merayakan kemanisannya. Acapkali, kemanisan tersebut harus tetap dirayakan di tengah himpitan kegetiran. Oleh karenanya, penting untuk menumbuhkan kebanggaan diri di tengah gempuran sosial dan budaya yang memaksa kita layu dalam rasa malu dan hina.

Selamat merayakan Pride Month! Hidup panjang perlawanan!


Fajar Zakhri adalah penulis dan penampil yang tinggal di Jakarta. Pernah ikut mengurus Q! Film Festival dan Festival Film 100% Manusia. Mengurus blog visual bertema musik dan kultur pop era 2000-an di Instagram. Juga dapat dihubungi via Twitter.

Artikel ini secara eksklusif ditulis untuk Jakarta Cinema Club dan kamu semua


Foto cover oleh Anna Shvets

Baca juga refleksi film bertema LGBT lainnya dalam rangka merayakan Pride Month, Call Me by Your Name karya Luca Guadagnino lewat artikel ini.