Tentang Sam Shepard, ‘Buried Child’ dan Ilusi American Dream

Sedikit renungan: Bagaimana jika kamu hidup di sebuah negara yang mengalami perang tidak berkesudahan? Bagaimana jika tiga generasi dalam keluargamu mengalami dan memiliki perangnya tersendiri? ‘Buried Child’ adalah kisah tentang sebuah keluarga yang rusak akibat perang, penggusuran lahan dan kegagalan mengikuti mitologi American Dream.


Sam Shepard adalah seorang penulis naskah, penulis skenario, aktor dan seorang sastrawan yang beberapa karya naskahnya sudah mendunia dengan kualitas yang tidak perlu diragukan lagi. Dalam dunia teater, Sam dianggap sebagai seorang pasifisme, yaitu seseorang yang melakukan perlawanan terhadap perang atau kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan pertikaian. Pemikiran itu dibalutnya menjadi sesuatu yang avant-garde pada teater kontemporer Amerika. Ini sangat tercerminkan dalam naskahnya yang berjudul ‘Buried Child’, naskah kisah tiga babak yang membuat Sam Shepard dianugerahi penghargaan The Pulitzer Prizes untuk kategori drama pada tahun 1979. Banyak pihak juga mengenal Sam sebagai aktor, terutama lewat akting fenomenalnya di film ‘Days of Heaven’ milik Terence Malick yang dirilis tahun 1978.

Sampul dari Playbill untuk produksi Broadway ‘Buried Child’ pada tahun 1996

Diceritakan pada masa stagflasi ekonomi Amerika Serikat pada tahun 1970, kita diajak untuk melihat sudut pandang sebuah keluarga kecil di Illinois: Halie dan Dodge beserta kedua anaknya, Tilden dan Bradley. Mereka adalah keluarga yang diselimuti kemiskinan dan penderitaan bagaikan hujan yang tak pernah reda. Amerika Serikat tahun 1970 adalah Amerika dengan generasi yang mentalnya dikoyak habis oleh perang tanpa akhir. Ada Perang Dunia pertama yang mewarnai generasi kakek dan nenek, lalu Perang Dunia 2 yang membesarkan generasi ayah dan ibu, serta Perang Vietnam yang kini memberi sensasi pahit kepada generasi muda-mudinya.

Bukan hanya perang dan kemiskinan saja yang menjadi masalah karena ternyata salah satu dari anggota keluarga ini memiiki mental yang tidak sehat. Tilden yang tiba-tiba membawa jagung dan mengatakan bahwa ladang jagung mereka sudah panen dan ditumbuhi banyak sekali jagung, padahal jelas-jelas mereka sudah kehilangan mata pencaharian karena ladang dan tanah mereka sudah hilang serta terjadinya gagal panen. Sementara Bradley, anak mereka yang satunya lagi, juga tidak punya nasib yang mujur lantaran dia memotong kakinya secara tidak sengaja dengan gergaji mesin dan kini digantikan dengan kaki palsu dari bahan kayu.

Semakin hari, keluarga ini semakin menunjukan ketidakberdayaannya menghadapi penderitaan hingga pada suatu hari datanglah Vince, sosok misterius yang mengaku sebagai anak dari salah satu anggota keluarga itu. Kedatangannya menguak pelbagai misteri dibalik segala penderitaan yang terjadi selama ini. Keluarga ini memang betul punya satu anggota keluarga lagi tetapi telah meninggal dunia dan dimakamkan tepat di halaman belakang rumah keluarga, ya seorang anak yang telah meninggal dan dikuburkan karena ada rahasia kelam yang menyelimutinya namun tiba-tiba saja muncul entah dari mana. Karakter misterius dan mengaku sebagai anggota keluarga ini tentu saja akan membuat cerita menjadi makin mendebarkan.

Bagian paling menarik dalam naskah ini ada pada babak ketiga di mana rahasia yang ada pada bayi yang dikuburkan di belakang halaman tersebut digali dan terungkap. Barulah keluarga ini bisa melihat alasan selama ini berbagai sayur-mayur memang tumbuh subur di sekitar mereka. Hal ini adalah visi Amerika yang ingin ditampilkan oleh Sam Shepard tentang masa depan yang lebih cerah setelah mengobati dan memperbaiki yang pernah luka dan rusak, visi yang ingin disampaikan secara imajiner melalui semangat juga harapan dan visi yang disampaikan secara nyata melalui gambaran hasil panen yang menghidupkan kembali tanah di Amerika.


Sam Shepard, 1974. Foto: Frank Martin/The Guardian

Karya Sam Shepard ini sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dan dipentaskan pada Teater SAE oleh Afrizal Malna, dan yang kini paling fenomenal serta menyita perhatian  adalah ketika karya ini dipentaskan oleh Teater Satu Lampung pada tahun 2012 di Komunitas Salihara yang memadukan masalah dalam Buried Child menjadi masalah yang sekarang dialami oleh para petani Lampung yang tergusur oleh maraknya perkebunan sawit. Kasus yang diambil adalah Tragedi Mesuji.

Dokumentasi Anak yang Dikuburkan dapat disaksikan pada kanal Youtube Vina Oktaviana dengan judul “Anak yang Dikuburkan, Teater Satu Lampung”. Baik pentas di Broadway maupun di Salihara semua mempunyai inti yang sama yaitu cara melihat sesuatu, jika kamu hanya fokus pada penderitaan dan kemiskinan maka itu semua hanya mencegah sebuah keluarga untuk melihat karunia yang selama ini tepat ada di depan mata sepanjang waktu, karena mereka terlalu fokus pada kejahatan dan bukan kebajikan.

Anak Yang Dikuburkan’, Teater Satu Lampung

Edvan Apriliawan, Jakarta Cinema Club