Hubungan Yang Toxic Seharusnya Mati!

Judul artikel ini kok galak banget ya? Tapi pernah nggak sih kalian merasa ingin marah sama sebuah karakter fiksi karena bisa jadi value negatif dari si karakter tersebut sangat dekat dengan kehidupan kalian? Berikut ini kita ambil kasus dari filmnya Ingmar Bergman yang berjudul ‘Summer With Monika’ (1953).


Immature love says: ‘I love you because I need you.’ Mature love says ‘I need you because I love you.

Erich Fromm

Hubungan Monika dan Harry menurut saya merupakan sebentuk cinta yang bersifat immature, karena masih berbasis ‘needs’. ‘Needs’ dari Monika adalah dia perlu menyalurkan hasrat infantil yang dia punya dan sebuah “pemakluman” dari sifatnya yang childish. Sedangkan Harry memiliki needs juga yaitu sebagai cowok macho yang ingin punya obyek untuk dilindungi. Di sinilah titik temunya.

Tentu saja, mengacu definisi dari Fromm, feeling di antara mereka sangatlah banal dan dangkal sehingga kenyamanannya yang diciptakan oleh keduanya bersifat palsu, kalau tidak bisa dikatakan destruktif. Jika ada yang terjebak dengan bentuk hubungan yang seperti ini, maka bisa disimpulkan hubungan ini tidaklah sehat dan kenyamanan beda dengan ketertarikan.

Dipa Raditya


Harriet Andersson berperan sebagai Monika di ‘Summer with Monika’ (1953, Ingmar Bergman)

Saya suka banget ‘Summer With Monika’ meskipun tidak bisa dipungkiri kalau karakter Monika itu sangat jauh dari sosok yang bisa dihormati. Seberapa sering sih kalian memiliki level kebencian terhadap seorang protagonis sampai kalian ingin sekali karakter tersebut hilang di akhir cerita alias mati?

Saya bahkan berharap agar sang love interest, Harry, akhirnya melakukan hal ekstrim sebagai tamparan menyakitkan bagi Monika, lalu meninggalkan Monika yang kemudian menjadi gila. Beda dengan karakter Harry yang menurut saya masih punya usaha jauh dibanding Monika untuk keluar dari ‘keterpurukan’ hidupnya. He’s trying to be a real man while she keeps being childish. Monika nggak sadar bahwa yang membuat hidupnya terlihat buruk adalah dia sendiri.

Saya melihat film ini sebagai representasi dari dua karakter manusia:

1 . Manusia dewasa: orang-orang yang biasa mengeluh tentang apapun tetapi menyadari bahwa mereka harus berubah untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Mereka harus meninggalkan keegoisan dan kekanak-kanakan mereka untuk menghadapi hidup mereka.

2 . Manusia yang kekanak-kanakan: orang yang terus mengeluh tentang hal-hal tanpa menyadari bahwa merekalah yang memperburuk hal-hal. Mereka berpikir bahwa masalah akan memudar ketika mereka bersenang-senang. Mereka menjalani kehidupan orang dewasa dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Mereka membenci orang tua tanpa alasan yang jelas.

Runi Arumndari

Jakarta Cinema Club