Philosophizeme: Epistemologi Immanuel Kant

Dalam sesi Philosophizeme, sebuah program rutin dari Jakarta Cinema Club, kali ini, kita melanjutkan diskusi Epistemology, dengan membedah ajaran Immanuel Kant, salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah filosofi. Epistemologi merupakan cabang filosofi yang mempelajari teori pengetahuan, Epistemologi mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti; “Apa yang dimaksud saat kita bilang kita mengetahui sesuatu?”, “Bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui?”, dan “Apa ada batas untuk hal yang bisa kita ketahui?”

Pada sesi sebelumnya, kita telah membahas dua ide epistemologi paling dominan, Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme merupakan ajaran yang mempercayai bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui akal pikirian murni. Sementara Empirisme percaya bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui indera dan pengalaman. Pada sesi ini kita menjembatani benturan antara kedua ide besar di atas, dengan melihat filosofi dari Immanuel Kant.

Immanuel Kant merupakan filsuf Jerman abad ke-18, yang merasa ide Rasionalisme dan Empirisme, tidak cukup untuk menjelaskan secara penuh bagaimana manusia memperoleh ilmu. Sebagian besar Epistemologi Kant berdasarkan sesuatu yang dia sebut pengetahuan synthetic a priori, yang dapat diartikan sebagai pengetahuan baru mengenai dunia yang datang murni dari akal pikiran. Sebelum Kant, sebagian besar orang percaya bahwa akal pikiran hanya dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan dalam kalangan definisi saja, dan ilmu pengetahuan baru tentang dunia sekitar perlu diperoleh melalui pengalaman dan indera. Kant tidak setuju dengan jalur pikiran tersebut, dan menyatakan bahwa terdapat informasi mengenai dunia sekitar yang kita peroleh murni dari akal pikiran (yang dia sebut pengetahuan synthetic a priori). Kant memberi contoh dalam pernyataan “Jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus”, menurut Kant pengetahuan seperti ini adalah contoh synthetic apriori, karena kebenaran informasi terkandung dapat ditentukan tanpa perlu pembuktian di dunia asli.

Kant juga tidak setuju dengan ide beberapa rasionalis (seperti Descartes), bahwa manusia dapat mengabaikan indera mereka sepenuhnya. Dia tetapi mengatakan bahwa dunia yang kita alami sehari-hari tidak dapat muncul tanpa akal pikiran kita. Dia mengembangkan ide ini lebih lanjut, dan mengajukan bahwa synthetic a priori dalam alam kesadaran kitalah yang membentuk dunia yang kita rasakan. Dia menyebut ide ini Transcendental Idealism, dimana menurut Kant dunia yang kita rasakan bukanlah dunia dalam dirinya sendiri (yang dia sebut  sebagai dunia Noumenal), melainkan adalah konstruksi dari synthetic a priori yang dia sebut sebagai dunia Phenomenal. Menurut Kant synthetic a priori kita dapat diumpamakan sebagai kacamata berwarna biru, tanpanya kita tidak dapat melihat dunia sama sekali, tetapi karena sifat kacamata tersebut dunia yang kita rasakan hanya terbatas pada sudut pandang tertentu.

Epistemologi Kant walau terlihat abstrak sangat penting untuk filosofi, sains, dan kehidupan sehari-hari. Dalam sains, ilmu pengetahuan berkembang ketika ilmuan mengajukan teori baru yang kemudian dibuktikan sebagai fakta. Tanpa karya Kant, metode sains akan berkembang dengan kecepatan yang lebih lambat. Menggunakan metode rasionalis murni, ilmuwan tidak dapat menentukan teori mana yang benar dan mana yang salah, sementara mengandalkan metode empiris murni, ilmu pengetahuan juga akan terbatas pada pengalaman dan indera sehari-hari.

π (1998)

Film yang kita bahas dalam chapter Philosophizeme kali ini adalah debut directorial tahun 1998 Darren Aronofsky, π (dibaca Pi). π menceritakan kisah Max, ahli matematika yang mencoba menyatukan sifat khaotis manusia dengan keteraturan dalam number theory. Film ini membahas dalam sifat matematika dan bagaimana matematika dapat digunakan untuk menggambarkan dunia. Matematika sendiri menurut Kant adalah contoh terbaik synthetic a priori. Dalam kehidupan sehari-hari, Matematika digunakan untuk memprediksi berbagai hal, mulai dari cuaca hingga pertumbuhan  ekonomi. Lewat matematika, informasi dan ilmu baru diperoleh hanya dengan akal pikirian kita saja. Topik ini merupakan fokus utama film, dimana terdapat beberapa faksi berbeda yang mencoba memanfaatkan pikiran unik Max untuk keuntungan sendiri. Jika ilmu adalah kekuatan, film ini menunjukan betapa kuat peran matematika di dunia, mulai dari meprediksi bursa efek hingga memahami sifak Tuhan.

Pilihan Aronofsky untuk membuat film dengan visual kasar dan kontras hitam putih juga membantu menunjukan ide Transcendental Idealism Kant. Dengan melihat dunia melalui sudut pandang seorang protagonis yang tersiksa, kita mendapatkan sebuah perspektif baru. Kita tidak dapat bilang sudut pandang dunia Max tidaklah akurat, justru, kemampuan dia untuk membentuk dunia berdasar logika angka dan matematika  membuat dia mampu merasakan realitas yang lebih tinggi. Tapi, seperti kita yang tidak mampu merasakan realitas lebih tinggi yang dicapai Max, dia juga tidak dapat merasakan semua aspek dunia yang dirasakan kita sehari-hari. Dunia yang dirasakan Max, bukanlah dunia noumenal. Max maupun penonton merasakan dunia dari sudut pandang berbeda, tetapi kedua sudut pandang tidak menunjukan dunia dalam kondisi seperti apa adanya. Kita semua masih terperangkap dalam dunia phenomenal, penjara yang kita buat sendiri tanpa jalan keluar.

Chapter Philosophizeme kali ini dihadiri oleh banyak pemikir dengan rasa penasaran tinggi yang mendiskusikan berbagai aspek Epistemologi dan realitas dari dunia kita. Diskusi dari peserta sangat aktif dan banyak pertanyaan kritikal yang ditanyakan seperti; Apa kita benar-benar merasakan dunia asli? Kenapa Matematika dapat menggambarkan dunia? Dan Kenapa Epistemologi penting dalam kehidupan sehari-hari?

Suntar Jono dan Olaf Sudja

Jakarta Cinema Club