Kelas Singkat Bersama Abbas Kiarostami dan ‘Taste of Cherry’

Abbas Kiarostami adalah guru yang baik.

Sebenarnya, gue gatau gimana caranya untuk mengupas masterpiece Kiarostami yang ini. Kalo boleh jujur, ini film kedua dari Kiarostami yang gue tonton setelah Close Up dan lebih ngena ceritanya ke gue. Sama-sama humanis tanpa bermaksud menggurui, tanpa maksain keyakinan Beliau ke penonton, dan tanpa embel-embel mojokin pandangan politik yang lagi anget-angetnya di Iran. Mungkin gini juga kali ya buat ngakalin sensor Iran yang gila-gilaan ke film. Gak kayak filmmaker lain, sebut aja Jafar Panahi dengan Offsidenya yang jelas-jelas critical ke pemerintahan Iran.

Kayak film-film Kiarostami yang lain, mungkin Beliau ngasih kebebasan buat penontonnya buat ga berpaku ke narasi yang udah disuguhin di Taste of Cherry ini. Sepanjang film gue ngerasa Kiarostami mau mebawa kita sebagai scholar yang dateng buat nyimak, belajar, punya interpretasi sendiri, terus puas karena punya  special attachment sendiri terhadap film tersebut. 

Simpel tapi padat dengan nilai moral, film ini nyeritain tentang seorang pria paruh baya bernama Badii yang keliling-keliling naik mobil di sisi industrial Tehran buat nyari orang yang mau nguburin dia setelah bunuh diri, entah itu buruh lepas yang kerja disitu, pemuda yang gue kira mau diajak “main”, sampe ke guru agama. Mungkin, udah signature dari Kiarostami kali ya, kebanyakan shot yang diambil emang focus  kepada karakter utamanya, jadi gue berasanya lagi nguping pembicaraannya Badii sama orang-orang yang “dimintain tolong” dari kursi belakang mobil sedannya Badii. Jangan salah, bukan berarti filmnya gitu-gitu aja, walaupun diambil dalam mobil atau dari jendela mobil, kita masih bisa dapet fullview dari sense-sense kita yang lain. Kiarostami sekali lagi ngajak penonton untuk berimajinasi di luar zona nyama mereka dengan  pengambilan suara dari luar lingkup mobil itu yang secara nggak langsung bisa menggambarkan kondisi sosial ekonomi Tehran,seperti suara anak-anak yang bermain di kejauhan, suara alat-alat industri, suara bising klakson mobil, dan kendaraan lain yang lalu-lalang di kota. Selain itu, kita juga secara gak sadar ngikutin sudut pandangnya Badii, hal yang mendekat, maupun hal-hal yang cuma lewat di mata Badii, seperti jalan-jalan Tehran, pembangunan, halaman kosong, rumah kosong, termasuk aktivitas-aktivitas di dalamnya. Makanya, semua elemen di film ini merupakan elemen yang krusial.

Hal lain yang gue perhatiin adalah film ini sangat simbolis. Gue berasa ada di kepalanya Badii. Perjalanan Badii yang berputar-putar di bukit tandus mungkin menunjukkan emosional dan permasalahan hidup Badii.  Pemandangan ini berlanjut sampai titik tersulit hidupnya yang ditunjukan dengan tumpukan bukit sampah dan angin-angin gurun yang bawa debu. Semua berakhir hinga Badii akhirnya bertemu dengan Sang Penolong yang bersedia untuk menguburkannya – Bagheri yang sepertinya ngerti banget state emosionalnya Badii kala itu. Setelah pertemuan itu, tone landscape yang ditunjukkan berubah menjadi lebih hangat dengan acting Badii yang lebih ekspresif.

Memang film Taste of Cherry tidak pernah memperlihatkan kenapa Badii ingin bunuh diri, filmnya juga gak mengajak kita sebagai penonton untuk bersimpati kepada Badii. Malah menurut gue di film ini, Badii cuma pengen menghilang aja alih-alih orang-orang tau kalo dia bunuh diri. Point itu yang bikin gue cukup emosional dan mikirin film ini sampai beberapa hari. Pada akhir misinya, ketika Badii mulai overdosis obat tidur dan paralyzed di liang kubur, gue juga ikut ngerasain putusnya hubungan antara Badii dan dunia sekitarnya. Semuanya berasa fade out, mulai dari pengelihatan, pendengaran, sampai kita cuma ngeliat layar hitam sebgai simbol dari berakhirnya kehidupan Badii – yang entah dia tidur apa emang beneran mati atau meditasi??

Di akhir film, seperti film Kiarostami yang gue tonton sebelumnya – Close Up, Kiarostami menggabungkan in real life situation saat dia bikin Taste of Cherry. Mungkin analogi sotoynya, Kiarostami ingin menggabungkan Badii yang menutup mata dengan pengalaman menonton film dimana kita menghentikan realita untuk melihat realita lainnya yang ditampilkan dalam film. Ketika penonton gak tau apakah Badii mati, tidur, atau meditasi, siapa tahu Badii sedang membayangkan hal-hal indah yang nggak mungkin terjadi padanya ketika ia hidup. Taste of Cherry mungkin film yang gak mudah ditonton; tapi layaknya masterpiece Kiarostami yang lainnya, Taste of Cherry adalah film yang menarik dengan charmnya sendiri. Kelar kelas, gue merasa puas dan bener-bener punya personal attachment ke film ini, jadilah tulisan 600++ characters in this piece. Sebenernenya masih banyak hal yang belum ter-cover di tulisan ini, seperti aspek-aspek mental illness dan depression yang akan sangat menarik buat dibahas.

Nanda